Pakar UGM Ingatkan Huntap Sumatra Harus Cegah Bencana Berulang
Analisis mantan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di UGM, Kamis (4/12/2025), ungkap penyebab banjir bandang Sumatra dipicu faktor nonalam seperti pembukaan lahan. Pemetaan ulang, mitigasi cuaca, dan pemulihan lingkungan dinilai mendesak.--Foto: Anam AK/diswayjogja.id
SLEMAN, diswayjogja.id - Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menyatakan bahwa kebijakan pembangunan Hunian Sementara (Huntara) dan Hunian Tetap (Huntap) pascabencana di wilayah Sumatra harus dirancang untuk mencegah terulangnya bencana, bukan sekadar memulihkan kondisi sebelum bencana terjadi.
Menurut Dwikorita, rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam waktu berdekatan menunjukkan tingginya kerentanan geologi wilayah tersebut. Kerentanan itu diperparah oleh kerusakan lingkungan di daerah hulu serta dampak perubahan iklim global yang memicu cuaca ekstrem.
“Bencana geo-hidrometeorologi di Sumatra kini semakin sering dan berdampak luas. Karena itu, kebijakan hunian pascabencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/12/2025).
Ia mengingatkan bahwa berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), potensi hujan dengan intensitas tinggi masih dapat berlangsung hingga Maret–April 2026. Kondisi ini membuat risiko banjir bandang dan longsor susulan masih sangat tinggi di sejumlah wilayah terdampak.
BACA JUGA : Menelisik Penyebab dan Dampak Banjir Bandang Sumatra, Dwikorita Sebut Faktor Nonalam Perparah Bencana
BACA JUGA : UGM Kirim Tim Kesehatan dan Psikologi ke Sumatra, Siapkan Skema Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak
“Oleh sebab itu, kebijakan Huntara dan Huntap harus terintegrasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh,” ujarnya.
Zona Rawan Simpan Memori Bencana
Dwikorita menjelaskan, banyak kawasan terdampak bencana berada di wilayah kipas aluvial, yakni bentang alam hasil endapan banjir bandang di masa lalu. Secara geologi, kawasan ini merupakan zona aktif yang menyimpan memori bencana dan tetap berpotensi terlanda kembali dalam rentang waktu puluhan tahun.
“Jika kawasan seperti ini kembali dijadikan Hunian Tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, tetapi justru diwariskan kepada generasi berikutnya,” tegasnya.
Ia menambahkan, kerusakan lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) mempercepat erosi dan meningkatkan volume material rombakan yang terbawa aliran saat hujan ekstrem. Akibatnya, periode ulang banjir bandang menjadi semakin pendek, bahkan bisa terjadi dalam kurun 15–20 tahun atau lebih cepat jika pemulihan lingkungan tidak dilakukan secara serius.
BACA JUGA : Kerusakan Ekosistem Hulu DAS Perparah Banjir Bandang Sumatra, Ini Penjelasan Pakar UGM
BACA JUGA : Polda DIY Kirim Ratusan Logistik Bantuan untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatra
Huntap Harus di Zona Aman
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: