Banjir Bandang dan Longsor di Sumatera, Alarm Multi-Bencana di Tengah Perubahan Iklim

Banjir Bandang dan Longsor di Sumatera,  Alarm Multi-Bencana di Tengah Perubahan Iklim

Warga mengevakuasi harta benda terdampak banjir bandang di kawasan perbukitan, menunjukkan intensitas kerusakan akibat hujan ekstrem.--Foto: Int

SLEMAN, diswayjogja.id - Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh menjadi bukti nyata kerentanan geologi Indonesia yang diperparah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. 

Prof. Dwikorita Karnawati, Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan UGM, menyatakan kombinasi faktor alam dan manusia ini menciptakan bencana geo-hidrometeorologi berantai dengan intensitas jauh melampaui kejadian sebelumnya.

“Data ilmiah menunjukkan bahwa 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dengan anomali suhu global mencapai +1,55°C di atas periode pra-industri. Dekade 2015–2024 pun menjadi periode sepuluh tahun terpanas yang pernah dialami bumi,” katanya merujuk laporan iklim terbaru.

Catatan BMKG pun menunjukkan lonjakan signifikan kejadian cuaca ekstrem, dari 2.483 pada 2020 menjadi 6.128 pada 2024.

Tren curah hujan tahunan di kawasan barat Indonesia, termasuk Sumatera, semakin meningkat. 

“Realitas ini memperkuat risiko banjir bandang, aliran debris, dan gerakan tanah, terutama di daerah dengan topografi curam dan perubahan tata guna lahan,” imbuhnya. 

BACA JUGA : Destinasi Instagramable Bandung yang Tahan Hujan dan Paling Dicari Gen Z

BACA JUGA : Awan Panas Guguran 131 Detik di Merapi, Hujan di Lereng Selatan Makin Intens

Hujan ekstrem yang dulunya jarang kini muncul berulang, sehingga banjir bandang datang dengan daya rusak jauh lebih besar.

Bencana kali ini berbeda dari bencana tunggal. Dinamika geologi dan hidrometeorologi saling memicu, diperparah kerusakan lingkungan, sehingga satu kejadian bisa menimbulkan rangkaian bencana susulan. 

“Selama musim hujan, potensi banjir bandang lanjutan masih tinggi. Saat rehabilitasi baru dimulai, hujan ekstrem bisa datang lagi dan memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat,” sebutnya. 

Dampak banjir bandang, longsor, dan kerusakan infrastruktur menimbulkan konsekuensi multidimensi yang tidak bisa ditangani mekanisme penanggulangan bencana reguler. 

Sistem yang ada sejak 2007 belum dirancang menghadapi multi-bencana akibat kompleksitas perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. 

Ia menekankan perlunya sistem penanganan lebih kuat, terutama pencegahan dan mitigasi jangka panjang, agar prinsip Build Back Better dapat diwujudkan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: