Alarm HAM di Dunia Kerja Yogyakarta, 1,87 Juta Orang Putus Asa dan Tinggalkan Pasar Kerja

Alarm HAM di Dunia Kerja Yogyakarta, 1,87 Juta Orang Putus Asa dan Tinggalkan Pasar Kerja

Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, berfoto bersama buruh, mereka menyoroti pekerja informal dan digital yang terpinggirkan.--Foto: IST

YOGYAKARTA, diswayjogja.id - Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyoroti krisis pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan layak di Indonesia. 

Data Sakernas 2024–2025 menunjukkan pada Februari 2025 terdapat 1,87 juta penduduk yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja karena putus asa, meningkat 11 persen dibandingkan Februari 2024 yang berjumlah 1,68 juta orang.

Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, menegaskan, Fenomena discouraged workers ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak atas kerja yang layak dan dapat diakses.  

"Sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan instrumen HAM internasional," katanya, Rabu (10/12/2025). 

"Meningkatnya penduduk yang berhenti mencari kerja bukan sekadar persoalan statistik, melainkan alarm tidak terpenuhinya HAM bagi warga negara," ucapnya. 

Menurutnya, ketidakpastian penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026, yang seharusnya mengacu pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) riil, justru memperlihatkan kemunduran paradigma kebijakan ketenagakerjaan. 

BACA JUGA : Lansia Bentarsari Sumringah dan Bisa Tidur Nyenyak, Setelah Gubuk Reyotnya Direhab Wakil Ketua DPRD Brebes

BACA JUGA : 8 Warung Makan Lesehan di Tangerang, Banyak Menu Enak dan Nyaman Cocok Buat Ngumpul Keluarga

"Negara kembali mereduksi hak atas penghidupan layak menjadi sekadar ‘angka minimum administratif’, bukan standar kehidupan manusia yang bermartabat,” tuturnya.

Berdasarkan catatan dan advokasi MPBI DIY, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di DIY masih belum mencerminkan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja dan keluarganya.

"Struktur pengupahan belum mempertimbangkan kenaikan riil KHL berdasarkan survei, seperti harga pangan, sandang, hunian, dan lain-lain, serta ketimpangan upah antar gender," ujarnya. 

Akibatnya, upah minimum tetap lebih rendah dari angka KHL, sementara upah pekerja perempuan relatif lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki. 

“Masalah ini paling keras dirasakan pekerja informal, termasuk PRT, yang bekerja tanpa kepastian hukum, upah, dan jaminan sosial,” jelasnya.

Ia menambahkan, pekerja platform atau digital, termasuk ojek online, hingga kini belum diakui sebagai pekerja penuh dan berpotensi kehilangan hak dasar ketenagakerjaan. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: