10.000 Anak menjadi Korban Kekerasan, Kemendikdasmen Ajak Sinergi Multipihak
Rektor UNISA, Ketua PP 'Aisyiyah dan Kemendikdasmen dalam seminar peran pendidikan karakter dalam mewujudkan kesetaraan gender dan lingkungan tanpa kekerasan --Anam AK/diswayjogja.id
SLEMAN, diswayjogja.id –Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI menyebutkan fenomena kekerasan di lingkungan pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat, tedapat ratusan laporan kekerasan sepanjang tahun 2024.
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen RI, Rusprita Putri Utami menyebutkan dalam menghadapi fenomena kekerasan ini perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam menangani dan mencegah kekerasan, terutama dalam membentuk karakter generasi muda.
“Data tahun 2024 tercatat 763 laporan kekerasan di lingkungan pendidikan yang melibatkan lebih dari sepuluh ribu korban anak,” jelas Prita dalam seminar peran pendidikan karakter dalam mewujudkan kesetaraan gender dan lingkungan tanpa kekerasan di Hall Baroroh Baried, Gedung Siti Walidah, Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) pada Sabtu (30/11).
Menurutnya, berbagai upaya pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan ini tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan seluruh ekosistem pendidikan yang mencakup sekolah, keluarga, dan masyarakat.
BACA JUGA : Aplikasi Lapor Kekerasan, Komitmen Pemkot Yogyakarta dalam Kurangi Angka Kekerasan
BACA JUGA : UNISA Yogyakarta Gelar Acara Penerimaaan Mahasiswa Baru, Dihadiri Banyak Influencer Pendidikan
“Kolaborasi sinergis antara sekolah sebagai tempat pendidikan formal, keluarga sebagai lingkungan pertama anak, dan masyarakat sebagai lingkungan sosial yang lebih luas sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan menggembirakan,” ujar Prita.
Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Fajar Riza Ul Haq memaparkan selain anak-anak yang menjadi siswa, para guru juga rentan yang menjadi pihak menerima kekerasan di lingkungan pendidikan. Sehinga, menurut Fajar, harus ada dua sisi yang dilindungi yaitu guru dan siswa.
“Ini adalah salah satu tantangan kita di dunia pendidikan, maka salah satu prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah menguatkan pendidikan karakter dan memperkuat peran guru. Maka tugas sekolah, guru, tugas orang tua makin lama makin berat, kompleksitasnya makin berat,” tegas Fajar Riza.
Persoalan mengatasi kekerasan di lingkup satuan pendidikan tidak bisa dikerjakan oleh sekolah, namun perlunya sinergi multipihak yang harus melibatkan orang tua dan masyarakat.
Fajar Riza juga menyoroti penggunaan gadget untuk anak-anak. Menurutnya, apa yang disaksikan anak-anak melalui gadget tersebut, sebagian besar tontonan malah menjadi tuntunan anak-anak yang membentuk perilaku mereka dalam kesehariannya.
“Jadi logika kalau anak memegang gadget sebagai sumber informasi tdk berkorelasi langsung dengan pengetahuan yang mereka miliki kalau tidak ada pendampingan,” terangnya.
BACA JUGA : Buka Peluang Emas Baru, UNISA Yogyakarta Tekan Kerja Sama dengan University of Leeds
BACA JUGA : Dari 248 ke 148 Kasus, Tingkat Kekerasan di Yogyakarta Alami Penurunan yang Siginifikan
Penggunaan gadget tersebut dinilai menjadi menjadi sumber persoalan baru di dunia pendidikan saat ini. Terlebih penggunaan handphone tidak selalu berkolerasi dengan perkembangan pendidikan anak.
“Kementerian berkomitmen menghadirkan pendidikan menjadi tempat aman dan nyaman untuk semua bukan hanya peserta didik tetapi gurunya juga. Kami titip peserta didik mohon diberikan bimbingan terbaik, mohon dibantu mereka dan tunjukan sikap uswatun hasanah kepada mereka semua,” pungkasnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah menegaskan isu nirkekerasan dan kesetaraan gender di lingkungan sekolah menjadi perhatian ‘Aisyiyah. Hal ini dikarenakan salah satu amal usaha ‘Aisyiyah adalah bidang pendidikan. Pihaknya menyoroti peran berbagai pihak dalam mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak.
“Ada empat tempat pendidikan yang disampaikan oleh Nyai Ahmad Dahlan bahkan sejak awal berdirinya ‘Aisyiyah yakni keluarga, sekolah, lingkungan, dan tempat ibadah. Perkenalan pertama anak dalam kehidupan sepeti unggah ungguh, tepo seliro dimulai dari keluarga dan ‘Aisyiyah memiliki concern di sini,” jelas Salmah.
BACA JUGA : Putus Rantai Kekerasan pada Perempuan, Pemkot Yogyakarta Gelar Seminar Hari Anti Kekerasan 2024
BACA JUGA : Daftar Perguruan Tinggi Negeri Di Yogyakarta
Salmah juga berapa kompetensi guru dapat berkontribusi dalam upaya penghapusan kekerasan kepada anak termasuk di lingkungan pendidikan. “Tentunya dari pendidikan ‘Aisyiyah ini diharapkan akan lahir generasi berkualitas, generasi yang mempunyai karakter baik yang mendukung terciptanya generasi emas sehingga akan mendukung pemerintah membentuk generasi emas di 2045,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor UNISA Yogyakarta, menyebutkan seminar ini sebagai salah satu upaya dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan ramah anak. “Upaya-upaya untuk bisa meminimalisir dan mengurangi kejadian kekerasan ini tentu tidak bisa bekerja sendiri karena jika bicara lingkungan sekolah maka bukan hanya guru tetapi mulai dari tukang kebun hingga kepala sekolah dan juga kolaborasi dengan ortu atau keluarga,” jelasnya.
Seminar bertema “Seminar dari Kelas ke Kehidupan: Menanamkan Nilai - Nilai Nirkekerasan dan Kesetaraan Gender di Lingkungan Pendidikan” ini dilaksanakan dua hari. Hari pertama diikuti oleh 250 orang guru swasta dan negeri se-DIY dan 1000 guru Muhammadiyah dan pengurus ‘Aisyiyah seluruh Indonesia secara daring. Sementara hari kedua digelar pada Minggu (1/12) dengan peserta dari orang tua murid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: