Kenaikan Harga BBM Jadi Pil Pahit Bagi Kesehatan Fiskal Negara

Kenaikan Harga BBM Jadi Pil Pahit Bagi Kesehatan Fiskal Negara

Petugas SPBU melayani pembeli BBM bersubsidi. (jpnn.com)--

JAKARTA (DISWAY JOGJA) - Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi menuturkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan pil pahit, yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara.

Kholid menilai masyakarat, khususnya mahasiswa masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM.

Sehingga cenderung mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global.

Faktanya, konflik antara Rusia dan Ukraina telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia.

Harga minyak dunia sempat mencapai USD 140 per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesian Crude Price), yang menjadi patokan APBN adalah USD 105 per barel.

Tak pelak, harga keekonomian BBM di dalam negeri pun mengalami kenaikan.

Dengan asumsi ICP di USD 105 per barel saja, kata Kholid, harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp14.000 per liter.

Jika harga Pertalite tidak dinaikkan dan tetap diangka Rp7.650 per liter, maka ada sejumlah Rp6.350 per liter yang harus disubsidi pemerintah.

Dikalikan kuota Pertalite 2022 sebesar 23 juta Kiloliter, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah.

“Itu baru Pertalite, belum lagi BBM jenis Solar yang juga harus disubsidi pemerintah. Kalau tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp 700 triliun. Duit segitu sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” papar Kholid Syeirazi.

Tak dipungkiri, menurut Kholid, kebijakan subsidi BBM di Indonesia selama ini masih salah sasaran.

Ini merupakan risiko sistem subsidi terbuka, di mana semua orang boleh membeli BBM bersubsidi, dan belum ada regulasi yang mengatur BBM untuk orang miskin.

“Menurut saya, kalau ada orang bisa beli mobil tapi pakai BBM bersubsidi, itu halal tapi tidak toyyib. Halal karena memang belum diatur, tapi tidak toyyib karena mengambil jatah orang miskin. Inilah penyebab membengkaknya anggaran subsidi hingga Rp 502 triliun," tutur Kholid. (jpnn/wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: jpnn.com