Menyelamatkan Air Hujan, Banyu Bening Jadi Wadah Edukasi dan Seni di Tengah Krisis Air Global

Menyelamatkan Air Hujan, Banyu Bening Jadi Wadah Edukasi dan Seni di Tengah Krisis Air Global

Anak-anak Sanggar Banyu Bening di Sleman menampilkan tarian Rilis Mengenjali sebagai simbol memuliakan air hujan dalam rangkaian gerakan peduli lingkungan.--Foto: Kristiani Tandi Rani/Diswayjogja.id

BACA JUGA : Seluruh OPD Pamerkan Hasil Pembangunan, Tenant Pedagang dan UMKM Meriahkan Pekan Brebes Beres Fair 2025

Tanamkan Peduli Lingkungan lewat Tulisan dan Konservasi

Di sanggar tersebut, anak-anak dilatih menolak penggunaan wadah sekali pakai. Mereka juga diperkenalkan pada literasi melalui program CDR-MDN (Menulis dari Rumah).  Berbeda dari kebiasaan digital saat ini, anak-anak diwajibkan menulis tangan, bukan mengetik. 

Bahkan, para pengelola dan pendamping pun harus memberi teladan dengan menulis.

“Di sanggar ini, adik-adik dibiasakan untuk peduli lingkungan, misalnya menolak wadah sekali pakai. Mereka juga kami kenalkan pada literasi, supaya terbiasa menulis dengan tangan. Prinsipnya, pendamping pun harus memberi contoh dengan menulis,” jelasnya. 

Selain literasi, sanggar ini memiliki ruang ketiga yang berfokus pada konservasi, dikelola oleh komunitas Jaringan Tangan Rakyat untuk Bumi. Program konservasi dijalankan melalui gerakan yang disebut Konser 5M. 

Gerakan ini mencakup menampung air hujan hingga pemanfaatannya, termasuk vegetasi dan penanaman tanaman pada waktu tertentu.

“Konservasi ini kami sebut Konser 5M, karena fokusnya mulai dari menampung air hujan, pemanfaatannya, hingga mendorong masyarakat untuk menanam sesuai musim tanam. Jadi bukan sekadar teori, tapi praktik nyata di lapangan,” imbuhnya.

Hari ini, seluruh ruang tersebut bergerak bersama dalam sebuah rangkaian kegiatan bertajuk peduli air hujan. 

Agenda sudah dimulai sejak 7 September 2025 melalui pagelaran wayang karakter lakon Bayu Ureb yang dimainkan oleh Prof. Dr. Judaiti Eskar Embu, dosen ISI Yogyakarta. 

Rangkaian acara kemudian dilanjutkan dengan seminar nasional yang menghadirkan narasumber dari Kementerian Pendidikan, UGM, ISI, dan Universitas Muhammadiyah Bogor.

“Lewat peduli air hujan ini, kami ingin menggerakkan semua elemen. Ada seni, ada literasi, ada konservasi, semuanya berakar dari budaya kita. Jadi anak-anak tidak hanya belajar di kelas, tapi langsung melihat bahwa menjaga bumi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Menurutnya, pelibatan anak-anak dalam gerakan lingkungan dan literasi sejak dini sangat penting agar kebiasaan itu bisa melekat hingga dewasa.

“Kalau sejak kecil anak-anak dibiasakan menulis, peduli air, dan menanam, itu akan menjadi karakter mereka ketika besar. Inilah yang kami sebut pendidikan berbasis kehidupan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: