SLEMAN, diswayjogja.id - Ratusan civitas akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi menolak revisi Undang-Undang TNI di halaman Balairung UGM, Selasa (18/3/2025).
Mereka dari berbagai akademisi mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pekerja serikat, menuntut lima poin terkait UU tersebut.
Dalam aksinya, mereka menilai usulan revisi UU TNI tak hanya kemunduran dalam berdemokrasi, melainkan juga merusak tatanan agenda reformasi TNI. Menarik kembali peran TNI ke dalam jabatan kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi justru akan semakin menjauhkan TNI dari profesionalisme yang diharapkan. Hal tersebut mereka anggap bertentangan dengan prinsip Negara Hukum demokratis dan akan membawa bangsa ini kembali pada keterpurukan otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru.
"Kita sebetulnya berharap sejak reformasi 98, TNI itu adalah institusi yang profesional. TNI adalah institusi yang menjaga ketahanan dan pertahanan negara. Harusnya revisi Undang-Undang TNI, bukan berupaya melegitimasi, memberi ruang TNI untuk mengeksploitasi, untuk menjadi aktor dan institusi yang melepaskan citranya, melepaskan maknanya sebagai pelaksanaan dan penjaga keamanan negara," ujar Masduki, inisiator Forum Cik Di Tiro.
Masduki menilai ada upaya-upaya untuk membelokkan peran TNI yang seharusnya dilakukan bagi kedaulatan negara. Mereka bersama-sama berkumpul untuk mengingatkan, tidak hanya TNI, tapi juga Presiden Prabowo dan para pendukungnya, agar kembali kepada amanat reformasi dan amanat demokrasi.
BACA JUGA : Tuntut Pencairan Tukin, Dosen Hingga Mahasiswa UGM Gelar Aksi Demo
BACA JUGA : Serikat Pekerja Fisipol UGM Tuntut Pencairan Tukin Dosen ASN Tanpa Diskriminasi
"Kalau yang bicara teknis kenapa revisi ini dilakukan di hotel? Sudah jelas itu pemborosan, ya kan? Sudah jelas sekali itu ada upaya untuk menutupi keputusan-keputusan. Yang kedua, ini momentum lagi momentum. Tiba-tiba ada di dilaksanakan di hotel yang sangat megah," katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Achmad Munjid, mengatakan proses revisi Undang-Undang TNI yang berlangsung di Jakarta dengan cara yang tertutup, dan dengan cara yang tergesa-gesa, sehingga proses itu dinilai sangat mencurigakan.
"Dan memang kalau dilihat dari agendanya, tidak bisa lain dibaca, kecuali mengembalikan militerisme, mengembalikan fungsi ABRI. Kita sudah menderita selama 30 tahun lebih di bawah Orde Baru, kita tidak mau militerisme dan fungsi ABRI dikembalikan ke ruang sipil," ujarnya.
Mmenjid menuturkan proses tersebut secara terang-terangan mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi soal pentingnya 'partisipasi publik yang bermakna' dalam pembentukan hukum. Publik berhak didengarkan, dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan dalam proses pembentukan hukum.
BACA JUGA : Ibu Korban Perundungan SD Swasta Kota Yogyakarta Tuntut Keadilan Demi Anaknya
BACA JUGA : BEM PTNU DIY Tuntut Pemerintahan Prabowo-Gibran Jelaskan Kebijakan Efisiensi Anggaran
"Hanya kalau kita bersuara secara keras, secara luas, secara tegas, maka suara kita akan didengar dan mereka akan harus menghentikan proses yang sedang berlangsung. Secara jelas sekarang sebetulnya militer dan polisi sudah mengambil posisi-posisi di sipil. Dan ini saya kira tidak pernah bisa dibenarkan," katanya.
Atas dasar tersebut, akademisi UGM menuntut lima poin diantaranya pertama pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik karena hal tersebut merupakan kejahatan konstitusi. Kedua, menuntut pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati agenda reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri.